Suatu hari, dengan setelan kerja, baju kemeja terkancing
rapi dengan celana bahan model entahlah model apa itu, dan jaket kulit, saya
datang ke sebuah kios batik di mall BTC, Bandung Trade Center. Mbak penjaganya memperhatikan
saya saja ketika itu, mungkin terpesona pada ketampanan saya dengan wajah
eksotis, oriental, alias sipit tapi warnanya rada gelap. Mungkin mirip aktor
atau penyanyi korea. Oke, cukup, jangan teruskan.
Singkat kata, saya ingin mencari kain batik disana, yang
mana setelah mencari-cari di tempat lain sudah pada tutup, tinggal satu kios
itu saja yang buka. Lalu sambil berjalan melihat kain-kain batik yang dipajang,
si mbak-nya mendekati.
“Sedang cari apa ko?”
“KO???!!” Dalam hati sambil senyam senyum, “Cari kain atau baju batik mbak”.
“Buat koko atau siapa?” tanyanya lagi.
“KO lageeh??!!! busseet” dalam hati. “Buat istri saya” saya jawab
“Silakan liat kesini ko, ada banyak pilihan...”
Oke, saya mulai terbiasa dengan panggilan tersebut, “that’s
not bad” kata saya dalam hati. Saya mendekati bagian lebih dalam kios dan ada
seorang ibu berjilbab kaos (bergo) coklat dengan payet bentuk bunga di bagian
atas kiri kepalanya yang tersenyum sambil mengeluarkan beberapa koleksi-nya.
“Ada yang ini ko, warnanya agak gelap, atau yang ini
warnanya cerah. Koko mau warna apa?”
“hmm...yang mana ya? Yang cerah deh...”
“ Ato yang ini ko, yang kayak gini laku banget, biasanya orang
Cainess (dengan s-nya ditahan “sss” maksudnya Chinese kali ya...) suka yang
warna kayak gini, cerah tapi agak pudar.”
“Oiya? Kenapa bu?”
“Saya juga nggak tau ko, tapi emang laku-nya begitu...”
“Oo...” lalu saya mengambil sebuah rok batik dengan warna
cerah, namun saya kembalikan lagi, “ada yang agak panjang ga bu? Soalnya istri
saya berjilbab”
Si ibu langsung mendongak ke arah saya seperti tak percaya,
sebentar sih, tapi saya melihat ada tatapan menyelidik, ga percaya dia...
“Yang ini coba ko, orang Cainess (s-nya agak ditekankan
lagi) seneng yang gini, kalau yang panjang yang ini.” Sambil ia menyodorkan 4
potong rok berwarna macam-macam.
“Saya juga Caines bu...”, mencoba mencairkan suasana...”tapi
saya muslim” lanjutku.
“Oooh...alhamdulillah banget. Udah cakep, ganteng, muslim, baik
lagi...”, pujinya, “ biasanya yang mualaf justru lebih kuat Islamnya dari
kita-kita ini”
Gubrak...APPAAAAHH???!!! GW DISANGKA MUALAF...Heu tak
percayakah ibu itu kalo saya ini Muslim sejak lahir...hiks. Saya senyam senyum aja didepan ibu itu. Tapi alhamdulillah, dan aamiin atad doa-nya bu.
Esok harinya, saya ceritakan kisah bersejarah ini pada
sahabat saya yang orang Binjai itu, dan ia terpingkal pingkal, katanya, “maksud
hati mau konfirmasi bahwa muslim tulen, tapi tetep Cina-nya gada yang
ngalahin...”. Heu heuu...dan kejadian serupa terulang beberapa kali di kota
lain, bayangkan KOTA LAIN... Subhanallah.
Actually, saya emang ada keturunan Chinese sih, dan saya denial kalau saya sipit sampai SMP kelas
1, pas SD kesel banget rasanya kalo dibilang, “Sipiit”, “Diimas Cinaaa, Diimas
Cinaa..” tau lah ya gimana membacanya, kayak anak SD lagi ledek-ledekan aja... Sekarang,
SO WAT GITU LOH...
Sekian_DimasAyahZiyad_
@dimasluftimas