Rabu, 30 Juni 2010

Cerita Panas Dari Cianjur II

Seorang wanita cantik usia 26 tahun, seorang pegawai asuransi, datang sendiri ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan panas badan sejak 5 hari yang lalu. Berikut hasil anamnesisnya...

Dokter : Demam sudah berapa lama?
Pasien : Sudah 5 harian dok...
Dokter : Demamnya gimana? langsung tinggi? Atau tiap hari naik?
Pasien : Nggak tau dok, tapi yang jelas ga langsung tinggi. Kalau malam rasanya lebih panas.
Dokter : Oo...

Tampaknya dokter telah mempersiapkan beberapa diagnosis banding untuk pasien ini...sehingga ia juga akan mempertanyakan satu pertanyaan pamungkas yang akan sangat membantu penegakkan diagnosis.

Dokter : Beraknya gimana de?
Pasien : biasa dok...
Dokter : Biasanya gimana?
Pasien : Sambil tersipu-sipu malu, pasien menunduk dan tampak ingin menutup mukanya, ia menjawab “Jongkok dok...”
Dokter : ...(doengggg...gubrakkkk...) untung aja si dokter tak jatuh terjengkang dari bangkunya...

..............................................SUDAH

Senin, 28 Juni 2010

B.C.N.Y

Cerita ini dialami bukan hanya oleh saya...tapi juga dr.Muda (dibaca: dokter muda Muda), temen sesama dokter muda dari UMJ. Saya ceritakan aja versi beliau dulu

Suatu ketika di Cianjur, si Muda lagi lain futsal, terus dengar ada teriakan-teriakan dari sisi penonton.

“Ay lop yu...Ay lop yu...” kata suara jeritan seorang wanita di pinggir lapangan.
“Aih...mati gua...artinya ‘EF' jadi ‘EP’ disini...” kata si Muda dalam hati.

Di kesempatan lain, ia dengar lagi suara-suara jeritan wanita.

“Aku nge-pens sama kamu...” kata suara jeritan lainnya
“Hmm...Confirm sudah, artinya cara ngomong harus disesuaikan dengan kultur setempat...ga usah so’-so’-an Inggris...”

Sampai pada suatu hari, si Muda dapet info tentang suatu tempat di Cianjur, tempat gaul yang isinya tempat makan, main futsal, badminton, tenis, dan berenang, namanya BCNY, singkatannya masih belum ketemu sampai blog ini ditulis(mungkin gak ya: Bandung Cianjur New York: entahlah). Berniat ke tempat itu, dia tanya pada orang sekitar tentang BCNY ini.

“A’ a’, mau tanya, Be Ce En Ye, dimana ya?” tanyanya
“Be Ce En Ye?...maksudnya Bi Si En Way kali...” jawab A’a setempat itu.
“He...he...” sambil senyum getir si Muda meng-iya-kan kata aa itu.

Kejadian yang sama terulang kembali malam ini. Ceritanya mbak-mbak dokter muda Unpad mau pada makan diluar. Daripada ngebiarin wanita-wanita ini berkeliaran tanpa ada pelindung, terpaksa saya sendirian jalan dari kosan abis magrib nyamper mereka, menembus kegelapan dan ancaman diculik "Kunti" dari seorang kuncen Cianjur, Abah Roni. Cukup lama menunggui mbak-mbak itu, akhirnya kami jalan juga...

Seperti biasa, abang-abang tukang angkot ketika melihat beberapa orang bergerombol, tampak rapih dan bersih, bawaannya geregetan pengen nganterin aja. Mereka segera menyambut baik peluang ini.

“Mau kemana a?” tanya seorang yang berwajah tirus
“...mmm...” kami (tepatnya saya) masih diam

Sebetulnya sudah tahu mau naek apa, Cuma karena baru pertama kali ini jalan malem keluar di Cianjur, mana menggiring 5 dayang seperti seorang pemuda tampan ngangon bebek...(hehehe peace girls...), jadi masih agak bingung.

“Kemana? Ke Ramayana? Hipermart? Panembong? Cipanas? Mau kemana?” tanyanya seperti polisi nginterogasi maling bebek.

“...mmm...mau ke Be Ce En Ye...”

Langsung mereka menyambut...”Oooo...Bi Si En Way...!! naek ini aja...” bersemangat dengan gaya bicara orang paling gaol se-Cianjur dan kami adalah orang paling kampring se-Cianjur, abang itu menunjuk ke angkot merah berkode 05B..., "Pren angkut pren,langsung weh ka Bi Si En Way..." lanjutnya pada rekannya didalam angkot merah tersebut.

Sambil nahan ketawa, aku berdiri mematung...tapi, tak lama, yang lain ketawa terutama Didi, Warisya, dan Vitri...karena mereka inget dan tampak turut merasakan apa yang dirasakan si Muda saat itu...Sakit men, sakiiitttt...

Kesimpulannya...Gella...lo belom jadi anak gaol Cianjur cuy kalo belom ke BCNY, belum dapet gelang warna biru tulisannya “BCNY DEWASA”, dan nyebut BCNY dengan benar...BI SI EN WAY...

.......................................................SUDAH

Jumat, 25 Juni 2010

Cerita Panas Dari Cianjur

Rabu, adalah hari seperti biasa. Pagi-pagi pukul 5 lewat, para dokter muda sudah visite bersama dokter spesialis penyakit dalam, seorang Jawa yang sudah lama tinggal di Cianjur. Sampailah pada satu bed berisi seorang nenek dengan keluhan katanya demam.

Dokter : “ibu di rumah panas teu?”. Dengan logat Jawanya yang artinya “di rumah panas tidak?”

Pasien : “kaah...?”, dengan suara bergetar khas nenek-nenek, yang artinya “apaa...?”

Perawat : “di bumi aya panas teu?”. (di rumah ada panas tidak?)

Pasien : “oo...aya dok...”, masih dengan suara bergetar khas nnek-nenek. (Oo...ada dok)

Dokter : “sabaraha lami?”. (berapa lama?)

Pasien : ...

Perawat : “sabaraha dinten?”. (berapa hari?)

Pasien : “ah, tos lami dok..., sasasih panginten aya...”. (ah, sudah lama dok..., sebulan mungkin ada)

Dokter : “ha???”. (Si dokter langsung menegadahkan wajahnya menatap mata si nenek tajam dan bergumam “sebulan???”, mungkin otaknya langsung mencari DD dari penyakit-penyakit dengan keluhan demam yang lama, hingga sebulan. Apa keganasan? Apa infeksi parasit? Apa TBC?. Lalu ia lanjut bertanya “ayeuna masih aya panas keneh?”. (sekarang masih panas?)

Pasien : “alhamdulillah enteu dok...ku pun anak alhamdulillah tos dipangmeulikeun kipas angin...”. (alhamdulillah tidak dok...oleh anak saya alhamdulillah sudah dibelikan kipas angin...”
Dokter dan perawat : “uwwaaatttt...???”

Pasien : ...???

.........................................................................sudah

Rabu, 02 Juni 2010

Selalu belajar untuk IKHLAS

Senin, tanggal 31 Mei 2010

Assalamu’alaykum BLOG...sudah lama tidak menulis disini...sudah lama tidak memberi yang terbaik setiap hari...sudah lama...

Mudah – mudahan tulisan dari kamar malam ini dapat memberikan sesuatu yang terbaik untuk hari ini.

Hari ini hari pertama pekan ketigaku di RS Ujung Berung. Setelah tiga hari libur panjang dan menghabiskan waktu liburan sebagai medik di sebuah vendor Outbond yang luar biasa, rasanya canggung kembali menjejakkan kaki disana. Tiga hari tidak memegang pasien, tiga hari lupa akan apa yang harus dilakukan pada pasien itu...dan pagi itu ketika sampai, sudah disambut oleh rekan sesama dokter magang dengan segala “kelebihannya”

Tapi...tadi sore tampaknya Allah menyadarkanku akan sesuatu. IKHLAS. Demi Allah, aku ternyata sedang lupa akan yang namanya IKHLAS...karena surat elektronik seorang relawan yang berangkat ke Gaza, Palestina tentang perjalanannya.

Ternyata betapa inginnya aku dinilai oleh manusia, betapa riya dan juga sum’ah telah merasuk sedikit demi sedikit dalam jiwa. Sehingga aku merasa tidak rela ketika rekanku datang menyambutku di depan pintu ruang perawatan sambil tersenyum lalu memberiku semacam “instruksi” untuk aku lakukan pada pasienku. Sehingga betapa inginnya aku dianggap oleh rekan-rekanku selain dokter sebagai seorang yang berbakat, dokter yang bisa segala hal. Sehingga betapa inginnya aku mengetuk kentongan pengiring musik “helaran” dengan cara yang nantinya akan membuat banyak manusia terpesona. Sehingga betapa inginnya aku dipanggil “dok” dan dianggap pintar dan banyak tahu segala hal. Demi Allah, ternyata rasa itu merasuk kedalam jiwa, mengotorinya tanpa aku sadari. Sehingga benar kiranya...saat Ibnu Abbas menafsirkan QS Al Baqarah ayat 22 dengan “Syirik adalah suatu perbuatan dosa yang lebih sulit (sangat samar) untuk dikenali daripada jejak semut yang merayap di atas batu hitam di tengah kegelapan malam” dan syirik paling kecil itu adalah Riya, na’udzubillahi min dzalik...

Benar adanya, kebolehan kita untuk berambisi.Tapi sungguh, ternyata aku lupa bahwa segala sesuatu hendaknya disandarkan pada Allah semata. “Ah...idealis!!!”, benar...tapi, izinkan Dimas yang serba lemah ini memuji syukur kehadirat Allah swt atas apa yang telah diberikan.

Diatas langit masih ada langit, disana banyak yang lebih berbakat dan hebat, dan lebih pantas ditepuk-tangani. Disana banyak yang lebih pintar sehingga tak pantas rasanya merasa pintar. Di rumah sakit bahkan perawat banyak yang lebih lihai daripadaku, sehingga tak pantas rasanya merasa bangga hanya karena dipanggil “dok”.

Sungguh, aku mohonkan pada Allah kekuatan untuk ikhlas, untuk menghadapkan wajah hanya pada Allah dan mengharap pandanganNya saja.

Ya Allah...perkenankan...