Kamis, 19 September 2013

Working With Style




Saat saya mulai menulis artikel ini, saya memulainya dengan googling frase working with style, dan saya baru menemukan 1.790.000.000 pencarian untuk frase ini, namun tidak ada artikel mengenai frasa ini di wikipedia®. Dari hasil pencarian yang saya lakukan, tampaknya frasa working with style  banyak menggambarkan pekerjaan desain dan seni.
Saya akan membicarakan tentang working with style yang lain, yang biasa kami sebut WWS suatu kebiasaan yang sedang saya dan 3 orang kawan gemari. Ketika didera kesibukan pekerjaan yang membuat orang lain bertanya “apa sih yang lo kerjain” dan saya akan menjawab “lo ga akan kebayang”, maka kami biasanya keluar dari kantor lalu mencari suatu tempat yang cukup nyaman untuk melakukan pekerjaan dan menyelesaikannya. Pekerjaan yang saya dan kawan-kawan lakukan sebenarnya bukan suatu pekerjaan istimewa yang akan membuat orang lain tercengang karenanya. Hanya pekerjaan yang sama saja dengan saat saya melihat orang lain mengerjakan sesuatu dan berkata, “ngapain sih orang itu, kok kayaknya sibuk banget”, yah, sama tidak terbanyangnya. Nahh, saat ini, sekali lagi saya tidak akan membicarakan tentang pekerjaan saya sebagai seorang dosen junior yang juga seorang dokter (lho...), saya akan membicarakan tentang working with style.
Sejak setahun lebih yang lalu, saya dan beberapa kawan sering bekerja di luar kantor sambil makan, minum kopi atau apapun dan pekerjaan kami-pun selesai. Inilah yang kami sebut working with style, dimana proesionalisme kerja dipadukan dengan hobi makan diluar di tempat yang terjangkau (tentunya dari segi harga atuh...), kadang sesekali di tempat mahal dan bisa pesan makanan aneh (biasanya pada kondisi yang biasa kami sebut “saat harga tidak menjadi masalah”), sehingga menyelesaikan pekerjaan menjadi sesuatu yang nikmat dan menyenangkan. Mengkonsep dan mengerjakan urusan kepanitian super camp pernah kami kerjakan pada working with style ini, menyiapkan bahan kuliah dan lab, mengkonsep ujian mahasiswa, mengerjakan tugas kuliah S2, membaca dan mengkaji jurnal, mengerjakan tesis, bahkan sekarang saya menikmati “menulis” pada saat working with style ini. Nah, ini yang menarik, dengan WWS ini kami bisa menyelesaikan semua itu dengan stress yang minimal. Yess...
Menjadikan working with style sebagai suatu bagian dari life-style tentunya memiliki konsekuensi tertentu, beberapa lah. Yang saya rasakan tentunya adalah konsekuensi finansial (istilahnya adalah labil ekonomi®). Hal ini menjadi konsekuensi yang tidak terlepaskan dari bagian aktifitas baru yang menyenangkan ini. Mau tidak mau saya harus rela merogoh kocek untuk menjalankan aktivitas ini, untuk menyiasati jadi boros yang tidak produktif, maka seringnya kami memilih tempat yang bervariasi terutama dari sisi harga dan ternyata banyak tempat yang nyaman untuk WWS tapi tidak mahal (akan ada referensinya pada artikel lain). Konsekuensi lain, pengetahuan tentang tempat-tempat menarik untuk working with style dengan berbagai variasinya, mulai dari variasi harga, konsep, tingkat keenakan makanan, hiburannya dan lain-lain.
Saat ini saya sedang melakukan working with style yang kesekian, sudah lupa yang keberapa kali, yang jelas saya bersama kawan-kawan yang jam terbang working with style-nya lebih banyak daripada saya. Kali ini di tempat yang menurut saya cukup menarik dan bagus untuk working with style, dengan konsep perpustakaan dan sangat ke-rumah-an, disertai hiburan musik live yang terkesan sedang kursus piano tapi kok menurut saya bagus-bagus aja. Nah, untuk cerita tempat ini akan ada khusus artikelnya dari saya atau mungkin kawan-kawan saya. Membuat tulisan ini mengingatkan saya pada awal pertama melakukan WWS ini bersama pak koordinator tahun, pak Hasan, dan kawan-kawan pecinta WWS, seru...
Sekian dulu ah, tulisan tentang working with style ini belum pernah saya temukan di tempat lain. Semoga bermanfaat. Terima kasih untuk indah, Halley dan Ajeng. Selamat bekerja, khususnya menyelesaikan tesis. --ari keur WWS teh tong sare wae, meh gancang beres tesis-na—
Wassalam
Dimas Luftimas

Jumat, 26 April 2013

The Power of Bismillah

Makan Malam Kali Ini Judulnya “The Power of Bismillah”

Judul kecilnya, “aku salah mencari tempat makan, lindungi aku ya Allah”

Aku baru pulang dari Lab Kultur Sel Eijkman setelah kerja bakti membangunkan satu dari dua puluh sel yang baru dibawa dari Jepang oleh seniorku. Diatas motor matic perut keroncongan dan yang terbayang adalah soto sulung dan sate...hmmm...nyam nyam. Kebetulan dekat dengan kosanku ada tukang sate dan soto madura yang enak sekali, dan aku berencana mampir kesana untuk membeli makanan nikmat itu.

Sayangnya setiba di kedai soto pinggir jalan dekat kosanku itu sotonya sudah habis, yang tersisa tinggallah satenya. Ah, kalau gitu tak jadi saja, karena tenggorokanku sedang gatal sekarang, inginnya makan yang hangat-hangat dan berkuah. Aku urungkan niat untuk mampir, lalu aku melaju lagi melewati kosanku untuk mencari toko swalayan untuk membeli k*l*r yang sudah krisis karena aku belum sempat cuci k*l*r, dan juga mencari makan malam. Dan akhirnya aku sampai di sebuah toko swalayan Indonesia yang ada mart-mart-nya itu, aku membeli k*l*r yang kutuju lalu membeli teh kotak.

Selesai dari sana aku berencana kembali ke kosan, namun melewati jalan yang lain. Tak jauh, hanya sekitar 10 meter aku melihat ada tenda bertuliskan soto sulung dan sate. Gairahku terbakar lagi, perut keroncongan lagi, otak mengingat kembali kepulan asap soto sulung dan gurihnya sate daging kambing dengan nasi yang pulen dan kenyal di mulut. Aku putuskan untuk berhenti. Tapi...aku melihat tenda itu agak suram, meja-nya berantakan, pembakaran satenya tidak begitu berasap, dan tidak ada penjualnya. Sepertinya otakku sudah dibanjiri kuah kuning soto sulung yang gurih dan nikmat sehingga aku masuk saja ke bawah tenda itu. Tiba-tiba...”aaargh!!!” aku terkejut (sebetulnya nggak sampe ngejerit sih), karena ada yang mencolek tanganku sambil bertanya, “sate ayam apa kambing?”, ternyata penjual sotonya yang bertanya. Tapi...”tidaaaakkk...”, tukang sotonya yang sudah tua itu ingusan dan tampak seperti orang sedang pilek dan dia menghisap-hisap ingusnya melalui hidung. Ya sudahlah tidak apa-apa.

“Sate kambing lima ya mang, sama soto satu”, aku memesan makanan diikuti rasa menyesal karena tidak bertanya, “mang, ada spagheti bolognaise ga?”. Karena tidak enak kalau aku kabur begitu saja, maka aku mencari tempat duduk yang sama saja dimana-pun, meja didepannya begitu penuh dengan plastik kerupuk beraneka rupa. Teh kotak yang aku mulai buka di depan mart tadi aku letakkan dihadapanku berikut kunci motor yang kubawa. Supaya lebih santai, aku chatting dengan kawan, kekasih dan siapapun. Si mamang sibuk mengipas sate pesananku, dari belakang aku perhatikan mamang ini tetap menghisap-hisap ingus melalui hidung. “Ya Allah, semoga ingusnya tidak menetes...”, doaku dalam tangis di hati.

Tak lama, datanglah 5 tusuk sate pesananku diatas saus kacang menggoda dengan taburan bawang goreng diatasnya, “terima kasih pak...” aku memasang senyum sambil mendongak ke arah bapak tukang sate tersebut, yang ternyata menatapku kosong, dengan ingus yang tampak masih ada... “tidaaaakkkkk...”, jeritku dalam hati disertai tangisan pilu. (masih dalam hati juga). Wajahku tetap tersenyum, lalu ia menyodorkan sebuah piring perak (sebetulnya itu alumunium) berisi nasi yang tampak pulen. Lalu ia berbalik dan membawakan kembali sebuah mangkok kepadaku berisi soto babat yang babatnya guede-guede, sebesar potongan handuk ukuran perca. Hampir saja aku meminta pisau ke bapak itu untuk memotong sendiri babat-babat dalam soto itu...sayang sekali, soto itu tidak mengepul.

Aku tersadar aku masih punya teh kotak yang tadi kubeli, sepertinya masih ada setengahnya, sehingga aku simpan dan tidak akan aku habiskan hingga aku selesai makan. Aku ambil sendok, dan sebelum aku sendokkan nasi ke mulutku, biasanya aku seka dulu sendok-sendok tersebut dengan tissue. Alhamdulillah disana ada tissue. Ketika sendok itu kuseka, “APPAAAA???”, tissue itu berubah warna menjadi kuning, “ya Allah, lindungilah aku. SENDOKNYA MASI KOOTOOORRR” rengekku dalam hati. Aku ambil sendok yang lain, lalu kuperhatikan, sama. Kusimpan lagi sendok itu, kucari yang lain, masih sama. Pas si mamang datang membawa air minum ke hadapanku, aku tetap me-lap sendok itu degan tissue (semoga si mamang mengerti), lalu setelah si mamang pergi aku ambil air lalu kusiram sendok it dengan air, begitu juga dengan garpunya.

Dengan membaca “Bismillahirrahmaanirrahiim” dan doa mau makan aku mulai menyendok soto, lalu menuangkan ke nasiku, lalu aku memakannya. Entah kenapa, yang bisa kuhabiskan hanya sate. Aku termakan sugestiku sendiri. Aku menghabiskan 2/3 nasi yang diberikan, 5 tusuk sate dan sebagian babat seukuran handuk yang ada di sotonya. Dengan cepat dan untuk mendorong makanan masuk ke lambung, aku minum teh kotak yang tersisa. Berdiri seketika, lalu menghampiri tukang penjual-nya, “jadi berapa mas?”
“pakai kerupuk ga?”
“nggak”
“jadi pas dua puluh ribu”
“ini mang, terima kasih ya”, aku menyodorkan uang selembaran hijau (sebenarnya aku ingin juga menyodorkan tissue pada si mamang, tapi takut ia tersinggung) lalu bergegas menuju motor. Aku takut dikejar sambil diacung-acungkan golok dengan kata-kata, “woy! Kenapa nggak diabisin makanannya?”. Sampai motor, langsung kupakai helm, lalu menghidupkan motor dan melaju kencang dengan kecepatan 60 km/jam, KABUR.

Di jalan aku berdoa, “Ya Allah, ini teh Power of Bismillah. Semoga saya tetap sehat”

Sekian
Dimas

Senin, 07 Januari 2013

Sipit itu...SIPIT LO MAS! :p



Suatu hari, dengan setelan kerja, baju kemeja terkancing rapi dengan celana bahan model entahlah model apa itu, dan jaket kulit, saya datang ke sebuah kios batik di mall BTC, Bandung Trade Center. Mbak penjaganya memperhatikan saya saja ketika itu, mungkin terpesona pada ketampanan saya dengan wajah eksotis, oriental, alias sipit tapi warnanya rada gelap. Mungkin mirip aktor atau penyanyi korea. Oke, cukup, jangan teruskan.

Singkat kata, saya ingin mencari kain batik disana, yang mana setelah mencari-cari di tempat lain sudah pada tutup, tinggal satu kios itu saja yang buka. Lalu sambil berjalan melihat kain-kain batik yang dipajang, si mbak-nya mendekati.

“Sedang cari apa ko?”
“KO???!!” Dalam hati sambil senyam senyum, “Cari kain atau baju batik mbak”.
“Buat koko atau siapa?” tanyanya lagi.
“KO lageeh??!!! busseet” dalam hati. “Buat istri saya” saya jawab
“Silakan liat kesini ko, ada banyak pilihan...”

Oke, saya mulai terbiasa dengan panggilan tersebut, “that’s not bad” kata saya dalam hati. Saya mendekati bagian lebih dalam kios dan ada seorang ibu berjilbab kaos (bergo) coklat dengan payet bentuk bunga di bagian atas kiri kepalanya yang tersenyum sambil mengeluarkan beberapa koleksi-nya.

“Ada yang ini ko, warnanya agak gelap, atau yang ini warnanya cerah. Koko mau warna apa?”
“hmm...yang mana ya? Yang cerah deh...”
“ Ato yang ini ko, yang kayak gini laku banget, biasanya orang Cainess (dengan s-nya ditahan “sss” maksudnya Chinese kali ya...) suka yang warna kayak gini, cerah tapi agak pudar.”
“Oiya? Kenapa bu?”
“Saya juga nggak tau ko, tapi emang laku-nya begitu...”
“Oo...” lalu saya mengambil sebuah rok batik dengan warna cerah, namun saya kembalikan lagi, “ada yang agak panjang ga bu? Soalnya istri saya berjilbab”

Si ibu langsung mendongak ke arah saya seperti tak percaya, sebentar sih, tapi saya melihat ada tatapan menyelidik, ga percaya dia...

“Yang ini coba ko, orang Cainess (s-nya agak ditekankan lagi) seneng yang gini, kalau yang panjang yang ini.” Sambil ia menyodorkan 4 potong rok berwarna macam-macam.
“Saya juga Caines bu...”, mencoba mencairkan suasana...”tapi saya muslim” lanjutku.
“Oooh...alhamdulillah banget. Udah cakep, ganteng, muslim, baik lagi...”, pujinya, “ biasanya yang mualaf justru lebih kuat Islamnya dari kita-kita ini”

Gubrak...APPAAAAHH???!!! GW DISANGKA MUALAF...Heu tak percayakah ibu itu kalo saya ini Muslim sejak lahir...hiks. Saya senyam senyum aja didepan ibu itu. Tapi alhamdulillah, dan aamiin atad doa-nya bu.

Esok harinya, saya ceritakan kisah bersejarah ini pada sahabat saya yang orang Binjai itu, dan ia terpingkal pingkal, katanya, “maksud hati mau konfirmasi bahwa muslim tulen, tapi tetep Cina-nya gada yang ngalahin...”. Heu heuu...dan kejadian serupa terulang beberapa kali di kota lain, bayangkan KOTA LAIN... Subhanallah.

Actually, saya emang ada keturunan Chinese sih, dan saya denial kalau saya sipit sampai SMP kelas 1, pas SD kesel banget rasanya kalo dibilang, “Sipiit”, “Diimas Cinaaa, Diimas Cinaa..” tau lah ya gimana membacanya, kayak anak SD lagi ledek-ledekan aja... Sekarang, SO WAT GITU LOH...

Sekian_DimasAyahZiyad_
@dimasluftimas