Rabu, 30 September 2009

Tanggung Jawab

Malam tadi aku jaga di Ruangan. Ruang rawat anak lantai satu itu, adalah tempat kami, para koas mencurahkan segala ilmu untuk memberikan apa yang kami bisa bagi para pasien, dan tentunya untuk mewujudkan harapan pada orang tua yang anaknya sakit agar lekas sembuh.

Ruangan itu panas, dan tidak ada sinyal sehingga baterai handphoneku cepat habis dan aku tidak bisa Facebook-an. Namun tak masalah, karena aku mendapat giliran jaga ruangan perinatologi, ruangan itu tidak pengap, namun panas karena didalamnya terdapat banyak inkubator untuk menghangatkan bayi. Ada 7 bayi yang harus ku periksa tiap tiga jam. Empat bayi lahir prematur, dua bayi yang sepsis, dan satu bayi dengan gangguan kongenital.

Suatu waktu aku memeriksa seorang bayi. Bayi ini dengan kelainan kongenital atresia esofagus, aku belum tahu apakah sempurna atau tidak, yang jelas, bayi ini tidak dapat minum secara normal, dan dikhawatirkan susu yang diminum akan masuk ke paru-paru dan malah menyebabkan pneumonia, padahal bayi itu sungguh manis, ia cantik.
Di sebelah bayi itu kuperhatikan ada seorang lelaki kecil, wajahnya imut-imut. Pasti ini kakaknya.

Dan ketika aku tanya, “berapa usianya de?”
“dua puluh tahun dok...” sambil mengembang senyumnya, menurutku anak ini cukup ramah, artinya lebih muda 4 tahun lah dariku.
“Ooo...ini adiknya ya?”
“Bukan dok, ini anak saya...”
“Ha...???!!!” aku berusaha meredam nada keterkejutan dari suaraku. “ooo, anaknya...?! dari kapan masuk Rumah Sakit?”
Dan pembicaraan berlanjut sambil kami jalan ke instalasi Radiologi di dekat ruang emergensi.

Aku jadi teringat cerita seorang saudara yang menikah di usia 20 tahun, atas dasar kesiapan dirinya. Ia memang matang, luar biasa matang. Ia terbina, dan ia dewasa. Aku tidak menanyakan lebih lanjut tentang kisah diri pemuda kecil tersebut. Sehingga aku ingin menyamakan saja untuk mengambil manfaat dari cerita keduanya. Bahwa, lelaki kecil itu, yang berdiri disampingku itu ternyata adalah seorang ayah dari bayi yang nafasnya sedang kuhitung. Mungkin posturnya kecil, namun visinya besar. Dialah laki-laki pemberani itu, yang memilih mengambil tanggung jawab dalam usia muda, disaat banyak orang lain memilih untuk mengambilnya dalam kemapanan yang belum pasti. Sejujurnya aku tersentak hebat.

Betul, tanggung jawab itu adalah milik tiap lelaki, namun kapan mereka mengambilnya menentukan keberanian, sekarang atau nanti? Toh bentuk dan berat tanggung jawab itu sama saja, dan yang menjadi penilaian bukanlah berat atau ringannya, namun usaha yang ada atau tidaknya usaha yang dilakukan.
Wallahu a’lam

Pukul 01.00, 4 Juni 2009 @ Nurse Station ruang rawat anak A1 RSHS, disebelah temanku Zafli yang sedang duduk tertidur diatas tumpukan status

3 komentar:

susantina mengatakan...

jadi pengen punya tanggung jawab di usia 20 juga dim? udah lewat dunk waktunya.hehe...
btw, nyadar ga? kalo awal2 jaga, kayaknya batin teh sering tersentuh. apalagi saat dengar keluh kesah pasien dan kondisi keluarganya. kayaknya pengen selalu bersyukur atas nikmat sehat ini. tapi sekarang. malesnya na'udzubillah... kemaren di sumedang ngomelin ibu2 yang mau partus tapi cerewet n cengeng banget. abis gandeng! padahal waktu APN pertama kayaknya pengen nangis n pengen sungkem sama mama...
so, gimana membuat batin qt terenyuh lagi saat bertemu pasien?

susantina mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
gadiskcil mengatakan...

baru nemu blognya dimas...
tulisan y ini bikin kesindir...pas baca komennya susan, makin kesindir...he:P