Judul kecilnya, “aku salah mencari tempat makan, lindungi
aku ya Allah”
Aku baru pulang dari Lab Kultur Sel Eijkman setelah kerja bakti
membangunkan satu dari dua puluh sel yang baru dibawa dari Jepang oleh seniorku.
Diatas motor matic perut keroncongan dan yang terbayang adalah soto sulung dan
sate...hmmm...nyam nyam. Kebetulan dekat dengan kosanku ada tukang sate dan
soto madura yang enak sekali, dan aku berencana mampir kesana untuk membeli
makanan nikmat itu.
Sayangnya setiba di kedai soto pinggir jalan dekat kosanku
itu sotonya sudah habis, yang tersisa tinggallah satenya. Ah, kalau gitu tak
jadi saja, karena tenggorokanku sedang gatal sekarang, inginnya makan yang
hangat-hangat dan berkuah. Aku urungkan niat untuk mampir, lalu aku melaju lagi
melewati kosanku untuk mencari toko swalayan untuk membeli k*l*r yang sudah
krisis karena aku belum sempat cuci k*l*r, dan juga mencari makan malam. Dan
akhirnya aku sampai di sebuah toko swalayan Indonesia yang ada mart-mart-nya
itu, aku membeli k*l*r yang kutuju lalu membeli teh kotak.
Selesai dari sana aku berencana kembali ke kosan, namun
melewati jalan yang lain. Tak jauh, hanya sekitar 10 meter aku melihat ada
tenda bertuliskan soto sulung dan sate. Gairahku terbakar lagi, perut
keroncongan lagi, otak mengingat kembali kepulan asap soto sulung dan gurihnya
sate daging kambing dengan nasi yang pulen dan kenyal di mulut. Aku putuskan
untuk berhenti. Tapi...aku melihat tenda itu agak suram, meja-nya berantakan,
pembakaran satenya tidak begitu berasap, dan tidak ada penjualnya. Sepertinya
otakku sudah dibanjiri kuah kuning soto sulung yang gurih dan nikmat sehingga
aku masuk saja ke bawah tenda itu. Tiba-tiba...”aaargh!!!” aku terkejut
(sebetulnya nggak sampe ngejerit sih), karena ada yang mencolek tanganku sambil
bertanya, “sate ayam apa kambing?”, ternyata penjual sotonya yang bertanya.
Tapi...”tidaaaakkk...”, tukang sotonya yang sudah tua itu ingusan dan tampak
seperti orang sedang pilek dan dia menghisap-hisap ingusnya melalui hidung. Ya
sudahlah tidak apa-apa.
“Sate kambing lima ya mang, sama soto satu”, aku memesan
makanan diikuti rasa menyesal karena tidak bertanya, “mang, ada spagheti
bolognaise ga?”. Karena tidak enak kalau aku kabur begitu saja, maka aku mencari
tempat duduk yang sama saja dimana-pun, meja didepannya begitu penuh dengan
plastik kerupuk beraneka rupa. Teh kotak yang aku mulai buka di depan mart tadi
aku letakkan dihadapanku berikut kunci motor yang kubawa. Supaya lebih santai,
aku chatting dengan kawan, kekasih dan siapapun. Si mamang sibuk mengipas sate
pesananku, dari belakang aku perhatikan mamang ini tetap menghisap-hisap ingus
melalui hidung. “Ya Allah, semoga ingusnya tidak menetes...”, doaku dalam
tangis di hati.
Tak lama, datanglah 5 tusuk sate pesananku diatas saus kacang menggoda dengan taburan bawang goreng diatasnya, “terima kasih pak...” aku memasang senyum sambil mendongak ke arah bapak tukang sate tersebut, yang ternyata menatapku kosong, dengan ingus yang tampak masih ada... “tidaaaakkkkk...”, jeritku dalam hati disertai tangisan pilu. (masih dalam hati juga). Wajahku tetap tersenyum, lalu ia menyodorkan sebuah piring perak (sebetulnya itu alumunium) berisi nasi yang tampak pulen. Lalu ia berbalik dan membawakan kembali sebuah mangkok kepadaku berisi soto babat yang babatnya guede-guede, sebesar potongan handuk ukuran perca. Hampir saja aku meminta pisau ke bapak itu untuk memotong sendiri babat-babat dalam soto itu...sayang sekali, soto itu tidak mengepul.
Tak lama, datanglah 5 tusuk sate pesananku diatas saus kacang menggoda dengan taburan bawang goreng diatasnya, “terima kasih pak...” aku memasang senyum sambil mendongak ke arah bapak tukang sate tersebut, yang ternyata menatapku kosong, dengan ingus yang tampak masih ada... “tidaaaakkkkk...”, jeritku dalam hati disertai tangisan pilu. (masih dalam hati juga). Wajahku tetap tersenyum, lalu ia menyodorkan sebuah piring perak (sebetulnya itu alumunium) berisi nasi yang tampak pulen. Lalu ia berbalik dan membawakan kembali sebuah mangkok kepadaku berisi soto babat yang babatnya guede-guede, sebesar potongan handuk ukuran perca. Hampir saja aku meminta pisau ke bapak itu untuk memotong sendiri babat-babat dalam soto itu...sayang sekali, soto itu tidak mengepul.
Aku tersadar aku masih punya teh kotak yang tadi kubeli,
sepertinya masih ada setengahnya, sehingga aku simpan dan tidak akan aku
habiskan hingga aku selesai makan. Aku ambil sendok, dan sebelum aku sendokkan
nasi ke mulutku, biasanya aku seka dulu sendok-sendok tersebut dengan tissue.
Alhamdulillah disana ada tissue. Ketika sendok itu kuseka, “APPAAAA???”, tissue
itu berubah warna menjadi kuning, “ya Allah, lindungilah aku. SENDOKNYA MASI
KOOTOOORRR” rengekku dalam hati. Aku ambil sendok yang lain, lalu kuperhatikan,
sama. Kusimpan lagi sendok itu, kucari yang lain, masih sama. Pas si mamang
datang membawa air minum ke hadapanku, aku tetap me-lap sendok itu degan tissue
(semoga si mamang mengerti), lalu setelah si mamang pergi aku ambil air lalu
kusiram sendok it dengan air, begitu juga dengan garpunya.
Dengan membaca “Bismillahirrahmaanirrahiim” dan doa mau
makan aku mulai menyendok soto, lalu menuangkan ke nasiku, lalu aku memakannya.
Entah kenapa, yang bisa kuhabiskan hanya sate. Aku termakan sugestiku sendiri.
Aku menghabiskan 2/3 nasi yang diberikan, 5 tusuk sate dan sebagian babat
seukuran handuk yang ada di sotonya. Dengan cepat dan untuk mendorong makanan
masuk ke lambung, aku minum teh kotak yang tersisa. Berdiri seketika, lalu
menghampiri tukang penjual-nya, “jadi berapa mas?”
“pakai kerupuk ga?”
“nggak”
“jadi pas dua puluh ribu”
“ini mang, terima kasih ya”, aku menyodorkan uang selembaran
hijau (sebenarnya aku ingin juga menyodorkan tissue pada si mamang, tapi takut ia tersinggung) lalu bergegas menuju motor. Aku takut dikejar sambil diacung-acungkan golok dengan
kata-kata, “woy! Kenapa nggak diabisin makanannya?”. Sampai motor, langsung
kupakai helm, lalu menghidupkan motor dan melaju kencang dengan kecepatan 60
km/jam, KABUR.
Di jalan aku berdoa, “Ya Allah, ini teh Power of Bismillah.
Semoga saya tetap sehat”
Sekian
Dimas
Sekian
Dimas